











( Sumber : Kontan )
Sejak awal tahun 2006 lalu, muncul jenis reksadana baru yang memberikan iming-iming setinggi langit kepada investor. Namanya reksadana terproteksi atau capital protected fund (CPF).
Belakangan ini, penawaran produk-produk reksadana terproteksi semakin marak. Total nilai dana yang telah diinvestasikan di reksadana jenis ini sudah mencapai Rp 11,9 triliun. Jangan heran. Reksadana terproteksi memang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan reksadana-reksadana lainnya, yakni ia bisa melindungi investasi awal investor. Tapi, ia juga mengandung banyak risiko.
Sesuai dengan namanya, reksadana terproteksi memang memberikan proteksi atawa perlindungan kepada investor. Apa yang diproteksi? Yang diproteksi adalah nilai investasi awal yang disetorkan oleh investor. Jadi, pokok investasi awal investor akan tetap 100%. Taruh kata Anda menginvestasikan uang Rp 20 juta; duit itu tidak akan berkurang sampai reksadana itu bisa dicairkan. Inilah yang membuat CPF agak mirip deposito.
Yang menarik, ada pula beberapa produk CPF yang memberikan proteksi tambahan berupa tingkat keuntungan tertentu. Jadi, yang dilindungi bukan cuma investasi awalnya, tapi juga keuntungannya. Sebagai contoh ada reksadana terproteksi yang memberikan proteksi sebesar 108%. Ini artinya selain memperoleh proteksi investasi awal sebesar 100%, investor juga bakal memperoleh keuntungan minimal sebesar 8%.
Perlindungan yang diberikan oleh reksadana terproteksi itu tentu saja bukan datang dari langit. Tapi, jaminan atas keutuhan investasi awal investor itu juga bukan datang dari sebuah institusi penjamin; baik asuransi, bank sentral, atau yang lainnya. Yang memberikan proteksi, tak lain, adalah skim investasi reksadana terproteksi itu sendiri. Maksudnya, manajer investasi akan menyusun portofolio tertentu yang bisa melindungi investasi awal investor.
Yang paling ideal, MI reksadana terproteksi umumnya menerapkan strategi static portfolio hedging. Dalam strategi ini, MI menyusun sebuah portofolio investasi yang memberikan lindung nilai (hedging) atas investasi awal investor. Caranya adalah dengan menginvestasikan sebagian besar dana investor di instrumen obligasi tanpa bunga (zero coupon bond).
Ambil contoh, sebuah MI mengelola dana sebesar Rp 100 miliar di CPF-nya. Ia lantas menggunakan Rp 80 miliar (80%) dana itu untuk membeli zero coupon bond perusahaan X yang kebetulan harganya juga 80% (untuk menggantikan bunga, biasanya zero coupon bond dijual dengan harga diskon). Sisa dana yang Rp 20 miliar diinvestasikan di instrumen investasi lain; bisa deposito, saham, valuta asing (valas), dan lain-lainnya. ?
Sabtu lalu kita sudah membahas contoh pengelolaan portofolio reksadana terproteksi secara statis (static portfolio hedging); yaitu dengan menginvestasikan 80% duit investor di obligasi bebas bunga (zero coupon bond).
Umumnya manajer investasi menginvestasikan sebagian besar dana investor reksadana terproteksi atau capital protected fund (CPF) di dalam obligasi atau surat utang. Tapi, tidak seperti di reksadana pendapatan tetap, MI tidak memperdagangkan obligasi ini; melainkan menyimpannya sampai jatuh tempo.
Nah, selain alokasinya khusus, cara pengelolaan portofolionya juga spesial. Obligasi bebas bunga yang sudah dibeli itu tidak boleh diperdagangkan; tapi harus disimpan saja hingga jatuh tempo.
Dengan portofolio dan strategi seperti itu, pada saat zero coupon bond jatuh tempo, duit yang 80% itu akan berbiak menjadi 100%. Pasalnya, ketika jatuh tempo obligasi itu akan dibayar penuh 100%. Praktis, nilai investasi awal CPF yang Rp 100 miliar pun tetap utuh.
Jika 20% duit yang diinvestasikan di instrumen lain juga berbiak, investor juga bisa mengantongi keuntungan lebih.
Sayangnya, suplai zero coupon bond di pasar obligasi Indonesia sangat minim. Jadi, jangan heran kalau nyaris tak ada MI di Indonesia yang menerapkan strategi static portfolio hedging tersebut.
Sebagai alternatif, para MI kemudian mengganti obligasi bebas bunga itu dengan obligasi biasa. Tapi, tentu saja, mereka tidak asal comot obligasi. Obligasi yang mereka pilih umumnya adalah obligasi pemerintah atau obligasi swasta yang memiliki rating BBB atau lebih tinggi.
Karena digunakan untuk melindungi investasi awal para investor, porsi investasi obligasi ini biasanya sangat besar; sekitar 80%-100% dari total dana.
Tapi, jangan asal tubruk. Meskipun namanya terproteksi; reksadana ini tetap memiliki banyak risiko. Risiko yang pertama adalah risiko likuiditas. Pihak MI biasanya melarang investor menarik duitnya sewaktu-waktu. Kalaupun bisa menarik, pihak MI biasanya akan memungut biaya penarikan (redemption fee) yang tinggi.
Agar terbebas dari biaya penarikan tersebut, investor harus bersabar menunggu sampai saat jatuh tempo. Jangan bingung, sebab reksadana terproteksi ini memang memiliki jatuh tempo; bisa 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, atau sampai 5 tahun.
Karena MI berinvestasi di obligasi, reksadana terproteksi juga mengandung risiko kredit (credit risk). Ketika jatuh tempo, mungkin saja emiten obligasi itu ternyata gagal bayar (default).
Dalam edisi Selasa (20/3), kita sudah membahas bahwa, mirip dengan reksadana pendapatan tetap, reksadana terproteksi juga memiliki risiko likuiditas dan risiko kredit. Selain kedua risiko itu, ada lagi yang disebut risiko akselerasi. Maksudnya, dalam kondisi tertentu, misalnya terjadi krisis ekonomi lagi atau tiba-tiba pemerintah mengenakan pajak atas bunga obligasi yang dibeli reksadana, mungkin saja manajer investasi (MI) melikuidasi reksadana terproteksinya di tengah jalan.
Jika ini terjadi, investasi awal investor pun belum tentu akan kembali utuh.
Variasi produk reksadana terproteksi semakin lama semakin banyak saja. Akibatnya, tingkat risiko masing-masing produk pun menjadi sangat beragam. Agar tak salah pilih, investor harus memperhatikan beberapa aspek penting ketika memilih produk reksadana terproteksi. Aspek-aspek itu adalah: profil risiko investor, tingkat proteksi produk, dan masa jatuh temponya.
Nah, jika siap memikul risiko-risiko itu, Anda boleh mencoba untuk membeli produk reksadana terproteksi. Kebetulan, reksadana jenis ini saat ini memang sedang marak ditawarkan.
Tapi, Anda tidak bisa membeli reksadana terproteksi tersebut setiap saat. Soalnya, berbeda dengan reksadana pada umumnya, reksadana terproteksi hanya ditawarkan dalam jangka waktu yang terbatas. Umumnya, lama masa penawaran itu adalah sekitar satu bulan. Setelah masa penawaran selesai, investor tidak bisa masuk lagi.
Nah, agar tak salah pilih, secara umum, ada beberapa tip yang harus Anda perhatikan pada saat akan memilih produk reksadana terproteksi.
Pertama, kenali dahulu profil risiko Anda. Jika Anda termasuk orang yang cenderung menghindari risiko tinggi (risk averter), belilah reksadana terproteksi yang alokasi investasi terbesarnya di obligasi pemerintah. Biar lebih aman, akan lebih baik lagi jika Anda bisa menemukan produk yang telah bekerjasama dengan pihak ketiga sebagai pembeli siaga. Tugas pihak ketiga ini adalah menjadi penampung jika ada nasabah yang menjual unit-unit reksadananya sebelum jatuh tempo.
Kedua, perhatikan tingkat proteksi yang diberikan. Proteksi ini dinyatakan dalam persentase. Semakin tinggi persentase proteksinya, semakin menguntungkan.
Ketiga, pilih reksadana terproteksi yang masa jatuh temponya sesuai dengan kebutuhan dana Anda. Jangan menginvestasikan dana yang akan dibutuhkan dalam jangka pendek ke dalam reksadana terproteksi jangka panjang. Ingat dana Anda akan dikunci, dan tak bisa ditarik setiap saat.
Keempat, baca prospektus reksadana terproteksi sebelum membelinya. Perhatikan klausul-klausul yang bisa membuat proteksi reksadana tersebut gugur.
( Sumber : Kontan )
Dari semua jenis reksadana yang telah diperkenalkan pada investor di Indonesia, reksadana saham sanggup memberikan imbal hasil paling tinggi. Tapi, jangan lantas asal tubruk. Dalam investasi selalu berlaku prinsip: hasil investasi yang tinggi sepadan dengan risiko yang tinggi pula. Karena itu, sebelum memutuskan membeli reksadana saham, kenali dan pahami dulu seluk beluknya.
Nah, menurut ketentuan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), penempatan dana pada ekuitas tadi paling tidak mesti mencapai 80% dari total dana kelolaan. Dus, manajer investasi (MI) boleh menempatkan sampai 100% dana kelolaannya pada saham. Tapi, bila penempatannya pada saham kurang dari 80%, namanya bukan lagi reksadana saham.
Intinya, reksadana saham membuka jalan bagi orang yang ingin membeli saham tapi duitnya terbatas. Maklum, untuk berinvestasi langsung ke saham perlu dana yang gede.
Coba kita hitung. Untuk berinvestasi di saham, Anda mesti membeli minimal 1 lot atau setara 500 saham. Taruh kata, Anda ambil saham yang murah, harganya Rp 500 per saham. Berarti, Anda mesti menyediakan dana Rp 250.000 untuk membeli satu jenis saham saja. Pasti Anda pikir, masih enteng kan?
Namun, jangan salah. Dengan hanya memiliki satu jenis saham, nilai investasi Anda akan sangat terpapar oleh naik-turunnya harga saham tersebut. Maksudnya, saat harganya naik, nilai investasi Anda sontak naik. Sebaliknya, saat harganya sangat jatuh, nilai investasi Anda juga langsung terjun. Jadi, tidak ada penyebaran risiko.
Karena itu, orang yang ingin berinvestasi di saham sebaiknya melakukan diversifikasi dengan membeli beberapa jenis saham. Selain itu, ia mesti memiliki kemampuan menganalisa dan memilih saham. Ia juga mesti punya waktu untuk memantau perkembangan pasar yang fluktuatif.
Ada lagi masalah lain. Bila ingin berinvestasi di saham, Anda mesti membelinya melalui broker alias pialang. Nah, perusahaan broker biasanya menetapkan setoran dana awal minimal Rp 50 juta. Sekalipun, Anda hanya ingin membeli 1 lot! Syukurlah, ada reksadana saham yang bisa mengatasi masalah-masalah tadi. Bagaimana bisa? Kita akan bahas di edisi besok.
Banyak faktor yang membuat orang berpikir seribu kali sebelum memutuskan untuk berinvestasi langsung di saham. Besarnya modal yang mesti disiapkan mungkin tak begitu soal bagi sebagian orang. Tapi, investor juga mesti mampu menganalisis dan memilih saham. Belum lagi, ia tak boleh lengah untuk senantiasa memonitor perkembangan pasar yang sering kali fluktuatif.
Nah, reksadana saham bisa menjadi solusi persoalan itu. Dengan reksadana, orang tidak perlu khawatir soal modal berinvestasi saham yang cukup besar. Reksadana memang dirancang sebagai sarana investasi bagi orang yang tidak punya kantong tebal. Setidaknya, gagasan idealnya seperti itu. Jadi, sekumpulan investor yang duitnya terbatas itu bisa berinvestasi beramai-ramai lewat reksadana.
Dengan demikian, fulus yang terkumpul cukup untuk diinvestasikan di sejumlah saham. Lantaran penempatan investasinya tersebar di banyak saham, risiko yang mesti dihadapi investor otomatis juga tersebar. Boleh saja harga satu-dua saham anjlok, tapi harga saham-saham yang lain dalam keranjang investasi reksadana itu naik atau stabil. Alhasil, nilai aktiva bersih (NAB) per unit reksadana boleh jadi hanya sedikit tergerus atau malah masih meningkat. Tapi, tentu kinerja NAB per unit penyertaan itu sangat tergantung dari saham-saham yang dipilih oleh si MI.
Nah, satu lagi kelebihan reksadana saham, investor tidak perlu puyeng memikirkan saham mana yang mesti dipilih. Tidak perlu pula melakukan analisis-analisis saham yang njelimet. Sebab, semua itu menjadi tugas dan tanggung jawab MI. MI juga yang akan menyelesaikan segala urusan dalam bertransaksi saham dengan pialang. Dus, tugas investor tinggallah memilih MI alias pengelola reksadana yang baik dan bisa dipercaya. Ini penting. Soalnya, pemilihan MI ini bisa menentukan kinerja reksadana kita.
Keuntungan reksadana saham lebih tinggi ketimbang reksadana pendapatan tetap yang berorientasi pada bunga. Keuntungan reksadana saham berasal dari kenaikan harga portofolio sahamnya yang disebut capital gain atau selisih antara harga jual dengan harga beli saham. Keuntungan lain diperoleh bila perusahaan penerbit saham membagi dividen atau bagian dari laba perusahaan kepada pemegang saham.
Namun, karena harga saham fluktuatif, investor reksadana saham sebaiknya punya horizon investasi jangka panjang. Sebab, umumnya, harga saham akan terus meningkat sesuai kinerja perusahaan.
( Sumber : Kontan )
Jenis reksadana yang pertama adalah reksadana pendapatan tetap atau reksadana obligasi. Sesuai dengan namanya, reksadana ini membiakkan sebagian besar dana investor di dalam instrumen surat utang atau obligasi.
Reksadana merupakan alternatif investasi yang tepat bagi investor yang punya dana terbatas. Masalahnya, berdasarkan instrumen investasinya, ada banyak jenis reksadana di pasar yang memiliki profil imbal hasil maupun risiko berbeda-beda. Biar tidak salah pilih, investor harus mempelajari seluk-beluk berbagai jenis reksadana tersebut.
Sebagian besar itu berapa, sih? Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) telah memberikan rambu-rambunya. Peraturan Bapepam-LK bilang bahwa yang masuk kategori reksadana pendapatan tetap adalah reksadana yang menempatkan minimal 80% dana investor di instrumen obligasi.
Jadi, kalau ada reksadana yang porsi investasinya di obligasi di bawah 80%, ia tidak termasuk reksadana obligasi. Sebaliknya, ada reksadana obligasi yang porsi investasinya di obligasi sampai 100%.
Ada dua jenis pendapatan yang menjadi sumber keuntungan (return) reksadana obligasi. Pendapatan yang pertama berasal dari bunga atau kupon yang diberikan oleh obligasi-obligasi yang ada di dalam reksadana tersebut.
Sifat pendapatan ini tetap. Soalnya, para penerbit obligasi membayarkan kupon obligasi mereka secara rutin dalam jangka waktu tertentu -- biasanya tiga bulan -- dan nilainya juga tetap. Karena ada aliran pendapatan yang tetap inilah, reksadana ini kemudian dinamai reksadana pendapatan tetap.
Tapi, jangan sampai terjebak. Karena namanya reksadana pendapatan tetap, banyak orang berpikir bahwa tingkat keuntungan reksadana jenis ini akan selalu tetap mirip deposito. Parahnya, malah ada investor yang beranggapan bahwa investasi awal di reksadana pendapatan tetap juga tak bisa berkurang, alias selalu tetap.
Presepsi yang telanjur latah ini salah besar! Sebab, aslinya tingkat keuntungan reksadana pendapatan tetap juga bisa naik-turun. Dalam satu bulan tertentu, misalnya, ia bisa memberikan keuntungan 2% per bulan.
Tapi, di saat lain, keuntungan reksadana yang sama bisa cuma 1% per 30 terakhir. Bahkan, bukan tidak mungkin keuntungan reksadana pendapatan tetap ini justru minus atau merugi. Kalau kerugian ini terjadi secara terus-menerus, pada akhirnya investasi awal investor juga akan termakan.
Asal tahu saja, akhir 2005, industri reksadana kita pernah geger akibat fluktuasi return reksadana pendapatan tetap yang berlebihan. Bayangkan, waktu itu, suatu reksadana pendapatan tetap bisa merugi 20% atau lebih dalam sehari doang.
Kok, bisa? Bisa, karena selain ditentukan oleh bunga, keuntungan reksadana pendapatan tetap juga ditentukan oleh perubahan harga obligasi yang menjadi ladang investasinya.Ya, di pasar, harga obligasi -- yang dinyatakan dalam persentase dari nilai pokoknya -- memang bisa naik-turun. ?
KONTAN edisi Rabu kemarin (7/3) sudah membahas seluk-beluk reksadana pendapatan tetap. Intinya, keuntungan reksadana pendapatan tetap yang berbasis obligasi bisa naik turun mengikuti harga obligasi di pasar. Ada banyak hal yang mempengaruhi harga obligasi.
Reksadana pendapatan tetap sebaiknya digunakan sebagai ladang investasi jangka panjang. Dengan cara ini, investor akan terhindar dari kerugian akibat gejolak harga obligasi dalam jangka pendek.
Faktor penentu yang paling utama adalah suku bunga pasar (BI rate). Pada saat bunga naik, harga obligasi yang menjadi tempat investasi reksadana obligasi akan turun. Akibatnya, keuntungan reksa-dana obligasi juga akan ikut turun. Sebaliknya, pada saat bunga turun, harga obligasi di pasar justru akan naik. Akibatnya, return reksadana obligasi juga ikut terkerek. Karena itulah, reksadana obligasi tergolong memiliki risiko menengah; bukan rendah.
Nah, investor yang berniat berinvestasi di obligasi pendapatan tetap harus memiliki nyali yang cukup agar siap menghadapi fluktuasi keuntungan yang mungkin terjadi sewaktu-waktu. Kalau suatu saat keuntungan reksadana pendapatan tetap tiba-tiba bergejolak, apa yang harus dilakukan oleh investor?
Para pakar investasi menganjurkan agar investor tak panik dan buru-buru menjual unit reksadananya. Pasalnya, tindakan menjual reksadana secara panik hanya akan memperburuk keadaan. Jika aksi jual itu dilakukan oleh banyak investor, MI pun terpaksa harus menjual sebagian besar obligasi yang ada di dalam portofolio investasinya.
Akibatnya, mungkin, ia harus menjual obligasi itu dengan harga yang murah. Ujung-ujungnya, penjualan secara obral ini bikin keuntungan reksadana pendapatan tetap itu semakin anjlok.
Selain itu, para pakar investasi juga menganjurkan agar investor menggunakan reksadana pendapatan tetap ini sebagai wahana investasi jangka panjang (di atas 3 tahun). Dengan strategi seperti ini, investor reksadana pendapatan tetap akan terhindar dari kerugian akibat fluktuasi harga obligasi dalam jangka pendek.
( Sumber : Kontan )
Apa itu instrumen pasar uang? Instrumen pasar uang adalah efek utang jangka pendek yang usianya tak lebih dari setahun. Misalnya, sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito atau obligasi yang akan jatuh tempo kurang dari satu tahun.
Jangan terkecoh dengan namanya. Reksadana pasar uang bukan berarti reksadana yang menempatkan dana investornya pada berbagai mata uang. Yang benar, reksadana pasar uang adalah reksadana yang menempatkan seluruh atawa 100% dana kelolaannya pada instrumen pasar uang.
Dengan karakteristik seperti itu, reksadana pasar uang sangat cocok bagi mereka yang terbiasa berinvestasi di deposito, tapi ingin mulai menjajal berinvestasi di reksadana. Produk ini pas juga buat investor yang mementingkan likuiditas dan orientasi investasinya jangka pendek.
Lantaran sifatnya yang seperti itu, tentu saja para investor mesti maklum bila hasil investasinya tak berbeda jauh dari bunga deposito. Soalnya, ya itu tadi, reksadana pasar uang menempatkan menempatkan sebagian dana investor ke deposito.
Lo, lalu apa nilai lebihnya ketimbang menaruh dana langsung di deposito? Keunggulan pertama adalah soal kebebasan waktu penarikan.
Sudah aturan main yang jamak, jika investor mencairkan deposito sebelum jatuh tempo yang disepakati, ia akan kena penalti alias denda. Besarnya bisa mencapai 10% atas bunga. Artinya, untuk menghindari denda ini, si pemilik dana mesti merelakan dananya ngendon di bank minimal satu bulan.
Enaknya, jika berinvestasi di reksadana pasar uang, investor bisa mencairkan dananya kapan pun ia inginkan tanpa kena denda. Menurut aturan Badan Pengawas Pasar Modal, paling lambat 7 hari setelah pengajuan permohonan pencairan, si investor sudah bisa menerima dananya.
Investor juga bisa menentukan sendiri jumlah dana yang ingin ia cairkan. Sementara, di deposito, investor mesti menarik seluruh dana plus imbal hasilnya.
Nilai lebih yang lain: investor berpeluang mendapat hasil investasi yang lebih tinggi ketimbang bunga deposito. Soalnya, selain di deposito, reksadana pasar uang juga berinvestasi di SBI atau obligasi jangka pendek. Nah, investasi di obligasi jangka pendek ini masih bebas pajak.
Dus, wajar kalau gabungan investasi di deposito plus instrumen lainnya itu mampu memberikan keuntungan yang lebih tinggi di atas bunga deposito. Berkat cukup besarnya dana yang terkumpul lewat reksadana pasar uang, investor pun berpeluang melakukan diversifikasi aset secara tidak langsung. Sebagai gambaran, dengan dana terbatas, katakanlah Rp 20 juta, Anda hanya bisa menyebarnya paling banter ke empat deposito. Itu pun, Anda tidak bisa menawar bunganya agar sedikit lebih tinggi.
Ketika menempatkan dana di deposito, reksadana pasar uang memiliki posisi tawar lebih kuat ketimbang deposan individual. Sebab, melalui reksadana pasar uang bisa terkumpul dana yang cukup besar untuk mendapatkan bunga yang lebih baik. Kebetulan, bank biasanya mau memberikan bunga di atas bunga konter untuk setoran di atas Rp 1 miliar.
Tapi, lewat reksadana pasar uang, dana investor yang terkumpul mungkin akan mencapai miliaran rupiah. Ini membuat manajer investasi (MI) bisa menempatkan dana di lebih banyak deposito dan instrumen pasar uang lain. Walhasil, keuntungan investor pun lebih optimal.
Tapi, mungkin Anda akan bertanya: jika menaruh sendiri dana kita di deposito, potensi untuk rugi boleh dibilang tidak ada. Bagaimana bila dana itu ditempatkan di reksadana pasar uang?
Harus diakui, memang ada kemungkinan imbal hasil reksadana pasar uang minus. Namun, potensinya sangat kecil. Soalnya, nilai instrumen pasar uang yang berjangka pendek itu relatif tetap atau tidak banyak bergerak lagi. Ini berbeda dengan instrumen saham atau obligasi yang masih panjang jatuh temponya.
Satu hal lagi; ketika berinvestasi di reksadana pasar uang, Anda tidak akan melihat penambahan nilai aktiva bersih (NAB) per unit penyertaan seperti pada reksadana lain. Angkanya tetap Rp 1.000 per unit penyertaan.
Cara menghitung keuntungan pada reksadana pasar uang memang berbeda dengan reksadana jenis lain. Hasil investasi reksadana pasar uang tecermin pada penambahan unit penyertaan, bukan peningkatan harga per unit penyertaan.
Biar lebih gampang dipahami, mari kita pakai perumpamaan. Misalnya, Anda membeli 1.000 unit penyertaan reksadana pasar uang dengan harga Rp 1.000 per unit. Ini artinya investasi awal milik Anda sebesar Rp 1.000.000.
Nah, dalam perkembangannya, penempatan dana reksadana pasar uang itu memberikan imbal hasil hingga 10%. Jadi, investasi Anda berbiak menjadi Rp 1.100.000. Logikanya, harga NAB per unitnya kini menjadi Rp 1.100. Tapi, bila Anda lihat laporan hasil investasi yang dikirimkan manajer investasi, harga NAB per unit tetap Rp 1.000.
Tapi, tidak berarti investasi Anda tidak bertambah. Sebab, kalau Anda cermati, jumlah unit penyertaan Anda akan bertambah; dari 1.000 unit menjadi 1.100 unit.
( Sumber : Kontan )
Secara definisi, reksadana campuran merupakan reksadana yang menginvestasikan dananya pada efek ekuitas (saham) dan efek utang (obligasi dan deposito) dengan komposisi yang tidak termasuk kategori reksadana pendapatan tetap, reksadana saham, maupun reksadana pasar uang.
Yang paling membedakan reksadana campuran dengan reksadana jenis lain adalah tingkat fleksibilitasnya dalam mengatur alokasi penempatan dana serta pemilihan portofolio. Seperti kita tahu, jenis reksadana lain memiliki batasan spesifik yang tak boleh dilanggar soal pengalokasian dana kelolaannya. Pada reksadana pendapatan tetap, misalnya, alokasi dananya pada obligasi tidak boleh kurang kurang dari 80%.
Gampangnya, ini reksadana gado-gado. Penempatan dananya bisa di saham, surat utang atawa obligasi, deposito, dan instrumen investasi lainnya. Komposisinya pun bisa sangat fleksibel.
Alokasi penempatan dana alias komposisinya pun bisa sangat bervariasi. Pun begitu, manajer investasi (MI) wajib memberikan gambaran mengenai kebijakan investasi reksadana campuran yang diterbitkannya. Misalnya, berapa porsi minimal dan maksimal untuk penempatan di efek ekuitas, surat utang, dan pasar uang.
Tapi, MI lebih leluasa untuk mengelolanya; kapan menjual, membeli, atau menata ulang komposisi portofolionya. Syaratnya, semua masih sesuai dengan kebijakan investasi yang sudah digariskan di prospektus reksadana.
Dengan membeli reksadana campuran, investor berkesempatan memperoleh imbal hasil dari berbagai macam instrumen investasi. Dus, biasanya tingkat keuntungan yang diberikan reksadana campuran bisa lebih tinggi ketimbang reksadana pasar uang dan pendapatan tetap.
Bahkan, ia seringkali hampir menyamai imbal hasil di reksadana saham. Tapi risikonya, boleh dibilang tidak sebesar reksadana saham. Karena itu, investor bisa memilih reksadana campuran ini sebagai alternatif reksadana saham.
Pun begitu, investor mesti jeli memilih mana produk reksadana campuran yang memiliki komposisi portofolio yang paling sesuai dengan kebutuhan investasinya serta profil risikonya. Soalnya, produk reksadana campuran yang sekarang ini beredar di pasaran memiliki komposisi portofolio yang sangat bervariasi. Satu dengan yang lain mungkin sangat berbeda.
Bisa jadi, sebuah reksadana campuran menempatkan 50% dananya pada instrumen saham, sementara yang lain hanya 25%. Sudah pasti, kedua reksadana campuran ini akan memberikan keuntungan yang berbeda. Setelah memahami karakteristiknya, investor sebaiknya tidak menilai reksadana campuran semata dengan melihat keuntungannya.
( Sumber : Kontan )
Kebalikan dari stock split atau pemecahan nominal saham, kadang kala ada juga perusahaan yang melakukan reverse stock split atau penggabungan nilai nominal saham. Sejatinya, hajatan ini juga tidak akan berpengaruh banyak terhadap investor, sebab nilai investasinya tidak akan berubah. Jika ada perusahaan melakukan reverse stock split, investor justru harus waspada.
Sesuai dengan namanya, reverse stock split adalah kebalikan dari stock split. Jika dalam stock split perusahaan memecah nilai nominal sahamnya, dalam reverse stock split atau penggabungan saham, perusahaan menggabungkan nilai nominal sahamnya dengan rasio tertentu.
Ambil contoh perusahaan A melakukan reverse stock split atas sahamnya yang memiliki nilai nominal Rp 100 dan harga pasar Rp 500 per saham dengan rasio 1:2. Ini artinya, setiap dua saham akan digabungkan menjadi satu. Jadi, setelah reverse stock split, nilai nominal saham A akan menjadi Rp 200. Sementara, harga sahamnya di pasar menjadi Rp 1.000 per saham.
Akibat lainnya, jumlah saham perusahaan itu juga akan menyusut. Taruh kata saham perusahaan A itu awalnya berjumlah 2 miliar; setelah reverse stock split dengan rasio 1:2, jumlah sahamnya akan tinggal 1 miliar saham.
Seperti halnya stock split, penggabungan saham juga tidak akan membawa dampak yang signifikan untuk investor.
Sebab, nilai investasinya akan tetap saham. Kembali ke kasus perusahaan A; misalnya investor C awalnya memiliki 1.000 saham, artinya sebelum reverse stock split nilai investasinya adalah Rp 500.000 (Rp 500 x 1.000). Setelah reverse stock split, jumlah saham yang dimiliki investor C memang tinggal 500 saham, tapi harganya menjadi Rp 1.000. Dus, nilai investasinya tetap sama Rp 500.000.
Hajatan reverse stock split sering mengundang respons negatif. Pasalnya, perusahaan biasanya menggunakannya sebagai taktik untuk mengangkat harga sahamnya. Dengan penggabungan, seolah-olah sahamnya menjadi lebih bernilai. Padahal, sebenarnya, tak ada faktor fundamental yang berubah. Kadang kala, perusahaan juga menggunakan penggabungan saham agar tidak ditendang dari bursa (delisting).
( Sumber : Kontan )
Akhir-akhir ini sering kita mendengar ada emiten yang melakukan penerbitan saham baru (rights issue) untuk menggalang dana. Ambil contoh, PT Summarecon Agung Tbk dan PT Bhakti Investama Tbk. Sebenarnya apa, sih, rights issue itu? Mengapa sejumlah emiten saham melakukan aksi korporasi ini?
Rights issue merupakan penerbitan hak untuk memesan saham baru yang akan dikeluarkan oleh emiten. Rights atau hak ini diberikan secara cuma-cuma, dan biasanya perusahaan memberikannya kepada pemegang saham yang telah memiliki saham biasa perusahaan itu.
Sebenarnya, ada beberapa istilah yang harus diketahui seputar penerbitan saham baru ini. Yang pertama, persetujuan pemegang saham. Rights issue hanya bisa dilaksanakan jika ada persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS).
Setelah mendapatkan persetujuan, emiten harus menawarkan saham barunya tersebut kepada para pemilik saham lama terlebih dahulu. Nah, penawaran ini juga disesuaikan dengan proporsi kepemilikan sahamnya (preemptive rights). Artinya, pemilik saham dalam jumlah besar mendapatkan hak untuk membeli saham baru yang lebih banyak.
Kedua, tujuan dari rights issue. Pada umumnya, tujuan rights issue adalah untuk menghimpun dana segar yang bakal digunakan untuk ekspansi usaha, membayar pinjaman, atau untuk modal kerja. Ada juga tujuan yang lain, misalnya untuk meningkatkan porsi kepemilikan pemegang saham. Bisa juga untuk meningkatkan jumlah saham yang beredar agar perdagangan sahamnya di bursa menjadi lebih likuid.
Ketiga, ada penjamin emisi yang menjamin dana hasil rights issue diterima emiten. Ia biasanya adalah perusahaan sekuritas yang ditunjuk oleh emiten. Keempat, standby buyer atau pembeli siaga, yaitu pemegang saham lama atau investor lain yang berkomitmen membeli saham baru itu?
Penerbitan hak untuk membeli saham baru atau rights issue ibarat buah simalakama buat investor. Jika mengambil hak itu dan membeli saham baru, artinya investor harus menyetorkan modal tambahan kepada perusahaan. Tapi, jika tidak membelinya, porsi kepemilikan saham investor akan menyusut atau terdilusi. Karena itulah, rights issue biasanya akan membuat saham perusahaan turun.
Menjelang penerbitan hak untuk membeli saham baru (rights issue), investor harus memperhatikan tanggal cum date dan ex date.
Cum date adalah tanggal yang menentukan pemegang saham yang memperoleh hak (rights) untuk membeli saham baru yang akan diterbitkan oleh perusahaan. Investor yang tercatat sebagai pemilik saham perusahaan sampai dengan tanggal cum date berhak untuk memperoleh rights tersebut.
Adapun investor yang memiliki saham perusahaan dalam periode ex-date tidak memperoleh hak untuk membeli saham baru perusahaan tersebut.
Hal yang lain yang harus diperhatikan adalah efek dilusi atau berkurangnya porsi kepemilikan saham investor dari kegiatan rights issue itu.
Ya, investor memang bisa saja tidak mengambil haknya untuk membeli saham baru yang akan diterbitkan oleh perusahaan. Namun, konsekuensinya, porsi kepemilikan saham investor tersebut akan tergerus. Sebab, setelah rights issue total saham perusahaan menjadi bertambah sementara jumlah saham yang dimiliki oleh investor yang tidak membeli saham baru tetap.
Karena itulah, investor publik umumnya tidak terlalu suka jika sebuah perusahaan melakukan rights issue. Sebab, itu artinya perusahaan itu menyodorkan buah simalakama untuk investor. Jika investor membeli saham baru itu, artinya ia harus menyetorkan modal tambahan. Tapi, jika ia tidak membeli saham baru itu, porsi kepemilikannya akan tergerus atau terdilusi.
Karena itulah, aksi penerbitan saham baru atau rights issue biasanya akan membuat harga saham suatu perusahaan turun. Apalagi jika dana rights issue itu hanya akan dipakai untuk membayar utang, bukan untuk ekspansi.
( Sumber : Kontan )
Bursa saham menyediakan banyak peluang bagi investor untuk membiakkan duitnya. Instrumen investasi yang paling utama tentu saja adalah saham itu sendiri. Tapi, selain melalui saham, investor juga bisa berinvestasi melalui instrumen-instrumen turunan saham. Salah satunya adalah instrumen waran. Menariknya, karena harga waran lebih rendah daripada saham, modal yang diperlukan juga lebih kecil.
Wajar jika semakin lama semakin banyak orang yang kepincut ingin berinvestasi di pasar saham. Pasalnya, selain saham itu sendiri, di bursa saham, ada pula instrumen investasi lainnya yang bisa menjadi wahana investasi. Salah satunya adalah waran yang merupakan produk turunan dari saham. Secara sederhana, waran adalah surat berharga yang memberi hak kepada pemiliknya untuk membeli suatu saham di masa mendatang pada harga yang sudah ditetapkan di muka.
Umumnya, emiten saham menerbitkan waran sebagai pemanis untuk menyukseskan hajatannya. Misalnya, ketika menawarkan saham perdana (IPO), sebuah perusahaan biasanya juga memberikan bonus waran kepada investor yang mau membeli sahamnya. Selain itu, perusahaan sering kali juga memberikan hadiah waran untuk investor yang mau membeli saham baru yang diterbitkannya (right issue).
Karena sifatnya sebagai pemanis, waran biasanya menawarkan harga pembelian saham - sering disebut harga pelaksanaan (strike price) - yang lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar.
Ambil contoh perusahaan ABC memberikan satu waran kepada setiap pembeli satu sahamnya dalam right issue. Perusahaan ABC memasang harga pelaksanaan waran sebesar Rp 1.500 per saham. Padahal, saat itu, harga saham ABC di pasar sudah mencapai Rp 1.700 per saham. Dus, harga pelaksanaan waran itu Rp 200 lebih murah dibanding dengan harga saham ABC di pasar.
Selain menentukan harga pelaksanaannya, perusahaan juga menentukan tanggal jatuh tempo yang menjadi tanggal pelaksanaan hak membeli saham yang melekat pada waran. Jadi, pada tanggal jatuh tempo itu, pemilik waran bisa membeli harga saham ABC dengan harga Rp 1.500.
Waran seperti ini disebut European warrant. Ada pula model waran yang disebut sebagai American warrant. Pemilik American warrant bisa mengeksekusi haknya untuk membeli saham perusahaan penerbit waran setiap saat sebelum jatuh tempo. Tapi, produk ini belum ada di Indonesia.
Lantas, mengapa waran bisa menjadi alat investasi? Soalnya, layaknya saham yang menjadi induknya, waran juga bisa diperdagangkan di bursa saham, termasuk di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Secara teori, harga waran itu adalah selisih antara harga pasar dan harga pelaksanaannya. Jadi, dalam contoh perusahaan ABC itu, harga warannya adalah Rp 200 per waran. Nah, harga waran ini bisa bergerak naik-turun mengikuti induk sahamnya.
Artinya, investor memiliki peluang untuk menangguk untung dari pergerakan harga waran tersebut.
Karena harga awalnya murah dan pergerakan harga waran mengikuti harga induk sahamnya, potensi keuntungan waran bisa sangat tinggi. Tapi, sebaliknya, risiko waran ini juga selangit. Karenanya, waran lebih disukai oleh tipe investor yang agresif dan gemar berspekulasi.
Mirip dengan saham, waran juga bisa diperjualbelikan. Transaksi dan pergerakan harganya pun tercatat di papan Bursa Efek Jakarta (BEJ). Untuk membedakan dengan saham induknya, biasanya waran menggunakan simbol induknya plus tanda -W di belakangnya. Misalnya, kalau simbol saham PT Central Korporindo Internasional Tbk adalah CNKO, simbol warannya adalah CNKO-W.
Tapi, berbeda dengan saham, waran lebih disukai oleh investor yang gemar berspekulasi . Soalnya, waran ini bisa memberikan keuntungan yang lebih tinggi ketimbang saham. Sudah begitu, modal yang diperlukan untuk bermain saham juga tidak sebesar modal untuk bermain saham.
Biar lebih jelas, mari kita bikin sebuah ilustrasi. Ambil contoh saham perusahaan XYZ harganya adalah Rp 1.500. Artinya, untuk membeli 1.000 saham itu, Anda membutuhkan duit Rp 1,5 juta. Tapi, jika investor memilih untuk membeli waran XYZ - yang misalnya harganya Rp 200 per waran - dengan duit Rp 1,5 juta, ia sudah memperoleh 7.500 waran.
Nah, uniknya, pergerakan harga waran biasanya persis mengikuti pergerakan harga saham induknya. Jadi, pada saat harga saham XYZ naik Rp 100 menjadi Rp 1.600, harga waran itu juga naik menjadi Rp 300. Dengan skenario seperti ini, tentu saja potensi keuntungan waran menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan saham. Buat waran XYZ, kenaikan Rp 100 itu setara dengan 50%. Sementara, untuk sahamnya kenaikan segitu hanya setara dengan 6,6%.
Rasio harga saham dibagi harga warannya sering disebut sebagi faktor pendongkrak. Dalam contoh tadi, besar faktor pendongkraknya adalah 7,5. Semakin tinggi faktor ini semakin potensi keuntungannya. Keuntungan waran itu akan semakin tinggi jika pasar saham sedang bergairah.
Tapi hati-hati, dalam kondisi sebaliknya, faktor pendongkrak keuntungan itu juga bisa menjadi faktor penambah kerugian. Jadi, risiko waran ini selangit.
Selalu ikuti kemauan bandar. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada market maker/bandar yang selalu saja menggoyang saham ini. Cara yang paling pasti adalah berteman dengan bandarnya dan selalu mencari bocoran. Jika bandar sedang akumulasi, Anda beli. Jika bandar sedang distribusi, Anda jual. Sesederhana itu. Yang sulit, bagaimana cara berteman dengan bandarnya ya?
Perhatikan siapa yang membeli. Jika Anda tidak tahu siapa bandarnya, maka Anda perhatikan saja sekuritas yang membeli. Perhatikan nama-nama seperti KZ dan ZP dan YP. Walaupun YP dulunya adalah sekuritas para retail namun sekarang tampaknya para pemain besar juga menggunakan nama YP. KZ dan ZP adalah sekuritas asing yang modalnya sangat besar, jadi mereka dalam sehari bisa menampung saham ini hingga lebih dari setengah trilyun rupiah (kadang tanpa jual satu lot pun). Perhatikan jika mereka-mereka ini sedang beli banyak tanpa ada berita apa-apa, Anda ikut. Berarti mereka bandarnya.
No news is good news. Menyambung yang di atas. Tidak ada berita bagi saham ini adalah berita baik. Tentu saja berita macam "IHSG Hari Ini Naik Dimotori Saham BUMI" tidak termasuk. Cuekin saja. Itu jenis berita paling tidak penting dan tidak berguna menurut kami. Satu kali lihat monitor (bisa pakai Yahoo Finance) saja sudah tahu. Cari berita paling update menggunakan mesin pencari "Paling Baru" di beranda (ketik saja "BUMI" atau "saham BUMI"), kemudian lihat tanggalnya.
Beli ketika harga sideways tanpa berita. Kami serius. Ada teori yaitu Bollinger Band yang menyebutkan hal ini. Hanya, tentu saja, Anda harus cek RSI terlebih dahulu. Beli ketika Bolllinger Band menyempit dan RSI ada di bawah sekali. Sabar hingga hal ini bisa terjadi. Ini jackpot jika bisa menangkapnya.
Beli ketika breakout tanpa berita. Ya, ketika orang lain takut dan/atau ragu-ragu dan/atau bertanya-tanya "ada apa?", Anda beli pada sore hari ketika harga sudah naik lebih dari 10%. Anda cuma perlu tahu satu hal: volumenya besar dan candlesticknya bullish engulfing. Ada alasan kenapa transaksi ketika buka dan ketika tutup paling ramai. Ketika buka, para pemula (semoga bukan Anda) yang melihat harga kemarin naik ingin memiliki saham BUMI. Ketika tutup, entah para pro profit taking (tinggal mengguyur bid) atau beli untuk besok. Istilahnya amateur on open, pro on close. Bersikaplah seperti pro dan berpikirlah seperti pro. Jangan takut membeli di high untuk hari itu karena besok Anda pasti bisa jual pagi-pagi. Ini salah satu kiat yang paling penting dan pasti untuk untung 2-3% dalam waktu sehari.
Jual ketika ada berita baik. Ya, kami menyarankan Anda berpikir untuk jual ketika semua orang sedang di awang-awang. Sell on news, istilahnya. Kenapa? Karena rumor dan berita itu dibuat oleh market maker untuk menggerakkan saham ini sehingga mereka bisa profit taking. Tidak peduli ada breakout atau tidak (biasanya ada), ketika ada berita baik, Anda jual!
Jual ketika harga sampai target. Tidak perlu menunggu let profit run. Jika target Anda sampai, langsung jual. Ini sangat penting untuk menghindari sesal di kemudian hari yang tiada berguna.
Untung 5% lebih baik daripada rugi 10%. Bahkan 2-3% pun bila pasti tidak apa-apa. Tidak ada pengusaha yang bangkrut karena untung sedikit. Oh ya, ingat manajemen modal Anda.
Pasang trailing stop sangat ketat. Jika Anda sudah untung, jangan sampai jadi buntung. Jangan serakah. Jangan serakah. Jangan serakah. Ingat-ingat nasehat ini.
Selalu ingat peribahasa "tong kosong nyaring bunyinya". Pada akhirnya seperti yang kami tulis di artikel ini, perusahaan ini bukanlah perusahaan yang bagus secara fundamental, seperti tong kosong. Anda tidak akan menemukan emas ketika "membuka" isi perusahaan tersebut. Akan tetapi untuk trading bisa saja menguntungkan jika Anda mengikuti rahasia di atas. Jangan pernah berpikir "investasi" dalam saham BUMI. Kami lebih menyarankan Anda berinvestasi pada saham lain yang bagus saja.
( Sumber : Jangan Serakah )
Dalam dunia saham Stock Split adalah kebijakan manajemen perusahaan untuk menambah jumlah saham beredarnya dengan cara membagikan saham baru kepada pemegang saham saat ini. Penambahan jumlah saham ini dibarengi dengan penyesuaian harga saham, sehingga nilai kapitalisasi perusahaan itu tidak berubah.
Misalkan saja saat ini jumlah saham beredar PT. X adalah 1000 lembar. Harga pasar saham tersebut adalah Rp 5000 per lembar. Dengan demikian nilai kapitalisasi perusahaan saat ini adalah Rp 5 juta. Jika manajemen memutuskan untuk melakukan stock split 2:1, maka jumlah saham beredar akan menjadi 2000 lembar, dengan harga baru per lembar sahamnya adalah Rp 2500. Nilai kapitalisasi perusahaan itu tetap Rp 5 juta. Jika misalkan kita adalah pemegang saham PT X, dan memiliki 200 lembar saham, maka setelah stock split tersebut, kita akan memiliki 400 lembar saham, tetapi nilai total saham kita tidak berubah.
Satu ‘fenomena’ yang ‘konyol’ di dunia saham adalah seringkali jika manajemen suatu perusahaan memutuskan untuk melakukan stock split, di pasar akan terjadi kenaikan harga saham perusahaan itu. Umumnya ini terjadi karena pasar berpendapat bahwa stock split akan menambah likuiditas saham (karena harga saham menjadi lebih murah dan perdagangan saham tersebut akan lebih marak), sehingga harga saham layak naik.
Kalau dipikir-pikir, logika semacam ini sebenarnya agak ‘aneh’, karena kalau memang benar, maka seharusnya 5 lembar uang pecahan Rp 1000 akan lebih berharga daripada 1 lembar uang pecahan Rp 5000. Setahu saya, tidak ada orang (waras) yang merasa ‘lebih kaya’ karena dia baru menukarkan 1 lembar Rp 5000 dengan 5 lembar Rp 1000.
Salah satu orang yang terkenal ‘alergi’ dengan praktek stock-split adalah Warren Buffet. Sejak mengambil alih perusahaan Berkshire Hathaway dari pemilik lamanya, Buffet tidak pernah melakukan stock split pada saham perusahaannya itu. Menurutnya, stock split menimbulkan 3 efek:
Bagi Buffet, ketiga hal di atas hanya akan menimbulkan kerugian bagi para pemegang saham seandainya mereka ingin membeli ataupun menjual saham. Belajar dari pandangan Buffet ini, jika kita adalah seorang investor (sehingga menganut paham ‘investasi untuk jangka panjang’), maka mungkin ada baiknya kita malah ‘was-was’ jika saham perusahaan yang kita pegang sering mengalami stock split.
( Sumber : Saham Fundamental )
Secara definisi :
ROA = return on Assets
ROE = return on Equities
DER = Debt - Equity Ratio.
Secara definisi, istilah di atas sudah sangat lazim di kalangan value investors. Namun secara fungsional and relasional, mungkin hanya 10% pengguna ROE dan ROA bener2 menguasai arti angka2 dibalik rasio2 ini.
Mari kita mulai dengan contoh2 sederhana:
Asumsi tidak ada extraordinary items, pajak, & depresiasi.
Kasus 1: Bunga 15%, ROA 20% | 1a | 1b | 1c |
Assets | 10M | 10M | 10M |
Equity | 10M | 5M | 0 |
Debt | 0 | 5M | 10M |
Sales | 5M | 5M | 5M |
OP.profit | 2M | 2M | 2M |
Intst(15%) | 0 | 750jt | 1.5M |
Net profit | 2M | 1.25M | 0.5M |
ROA | 20% | 20% | 20% |
ROE | 20% | 25% | INF* |
INF = infinity (besar sekali, bisa diartikan tanda modal bisa cetak profit |
Kasus 2: Bunga 15%, ROA 10%... | 2a | 2b | 2c |
Assets | 10M | 10M | 10M |
Equity | 10M | 5M | 1M |
Debt | 0 | 5M | 9M |
Sales | 5M | 5M | 5M |
OP.profit | 1M | 1M | 1M |
Intst(15%) | 0 | 750jt | 1.35M |
Net profit | 1M | 0.25M | -0.35M |
ROA | 10% | 10% | 10% |
ROE | 10% | 5% | -35% |
minus: rugi - biaya bunga lebih besar drpd pendapatan operasional |
Kasus 3: Bunga 15%, ROA 15% | 3a | 3b | 3c |
Assets | 10M | 10M | 10M |
Equity | 10M | 5M | 1M |
Debt | 0 | 5M | 9M |
Sales | 5M | 5M | 5M |
OP.profit | 1.5M | 1.5M | 1.5M |
Intst(15%) | 0 | 750jt | 1.35M |
Net profit | 1.5M | 0.75M | 0.15M |
ROA | 15% | 15% | 15% |
ROE | 15% | 15% | 15% |
( Sumber : Ichwan Alamsyah )
Membeli saham tanpa pernah tahu bisnis dan kinerja perusahaan tsb. tidak ada bedanya dengan membeli togel alias toto gelap atau judi jenis lainnya. Ironisnya praktek ini lazim terjadi. Padahal bursa saham tidak pernah didirikan untuk menjadi tempat judi atau casino bentuk lain. Agar terhindar dari praktek judi berkedok investasi, maka pada bagian selanjutnya kami akan mempersenjatai anda dengan perangkat-perangkat sederhana yang akan berguna untuk menganalisa suatu saham (baca: bisnis).
Berikut ini beberapa tips yang dapat anda ikuti sebelum anda melakukan investasi.
Contoh:
Jika obligasi PT X
YTM adalah tingkat pengembalian yang akan didapatkan oleh investor obligasi jika investor tersebut memegang obligasi tersebut sampai waktu jatuh temponya.
YTM dapat dihitung menggunakan formula sebagai berikut :
I = besarnya kupon
NP = nilai pari
HP = harga pasar
N = waktu jatuh tempo
Tn A membeli obligasi dengan nilai pari $10000, dengan kupon $1000 jatuh tempo dalam waktu 10 tahun. Harga pasar saat itu adalah $9500.
( Sumber : Infovesta )
Pengenalan Obligasi
Obligasi adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran. Ketentuan lain dapat juga dicantumkan dalam obligasi tersebut seperti misalnya identitas pemegang obligasi, pembatasan-pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan oleh penerbit. Obligasi pada umumnya diterbitkan untuk suatu jangka waktu tetap diatas 10 tahun. Misalnya saja pada Obligasi pemerintahAmerika yang disebut "U.S. Treasury securities" diterbitkan untuk masa jatuh tempo 10 tahun atau lebih. Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun disebut "surat utang" dan utang dibawah 1 tahun disebut "Surat Perbendaharaan. Di Indonesia, Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun yang diterbitkan oleh pemerintah disebut Surat Utang Negara (SUN) dan utang dibawah 1 tahun yang diterbitkan pemerintah disebut Surat Perbendaharan Negara (SPN).
Obligasi secara ringkasnya adalah merupakan utang tetapi dalam bentuk sekuriti. "Penerbit" obligasi adalah merupakan sipeminjam atau debitur, sedangkan "pemegang" obligasi adalah merupakan pemberi pinjaman atau kreditur dan "kupon" obligasi adalah bunga pinjaman yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur. Dengan penerbitan obligasi ini maka dimungkinkan bagi penerbit obligasi guna memperoleh pembiayaan investasi jangka panjangnya dengan sumber dana dari luar perusahaan.
Pada beberapa negara, istilah "obligasi" dan "
Obligasi dan saham keduanya adalah merupakan instrumen keuangan yang disebut sekuriti namun bedanya adalah bahwa pemilik saham adalah merupakan bagian dari pemilik perusahan penerbit saham, sedangkan pemegang obligasi adalah semata merupakan pemberi pinjaman atau kreditur kepada penerbit obligasi. Obligasi juga biasanya memiliki suatu jangja waktu yang ditetapkan dimana setelah jangka waktu tersebut tiba maka obligasi dapat diuangkan sedangkan saham dapat dimiliki selamanya ( terkecuali pada obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah Inggris yang disebut gilts yang tidak memiliki jangka waktu jatuh tempo.
Keuntungan Obligasi :
Keuntungan pertama adalah memberikan pendapatan tetap (fixed income) berupa kupon. Hal ini merupakan ciri utama obligasi, di mana pemegang obligasi akan mendapatkan pendapatan bunga secara rutin selama waktu berlakunya obligasi. Bunga yang ditawarkan obligasi umumnya lebih tinggi daripada bunga yang diberikan deposito atau SBI. Keuntungan yang kedua adalah keuntungan atas penjualan obligasi (capital gain).
Di samping penghasilan berupa kupon, pemegang obligasi juga dapat memperjualbelikan obligasi yang dimilikinya. Karena itu, bila Anda menjual lebih tinggi dibandingkan dengan harga saat Anda membelinya, maka Anda sebagai pemegang obligasi memperoleh selisih yang disebut dengan capital gain.
Resiko Obligasi :
Risiko ini melekat pada semua obligasi, obligasi pemerintah dan obligasi korporasi. Risiko ini timbul dari kemungkinan tidak likuidnya suatu obligasi diperdagangkan atau tidak mudahnya menjual suatu obligasi di pasar sekunder. Pasar sekunder obligasi tidak seramai pasar sekunder saham. Jika di pasar saham saja ada saham yang tidak likuid, apalagi dalam pasar obligasi. Untuk dua obligasi yang sama karektiristiknya kecuali yang satu likuid dan yang satunya lagi tidak likuid, investor akan meminta tambahan tingkat bunga untuk obligasi yang tidak likuid atau premium risiko likuiditas, istilah bakunya. Suatu obligasi menjadi likuid di pasar sekunder jika permintaan beli untuk obligasi itu cukup banyak atau memang ada pihak yang berperan sebagai market maker yang salah satu fungsinya adalah sebagai pembeli dan penjual stand-by untuk obligasi itu.
Risiko ini juga ada pada semua obligasi tetapi terutama pada obligasi korporasi dan berkaitan dengan masa jatuh tempo obligasi. Secara umum, semakin lama jatuh tempo suatu obligasi, semakin besar tingkat ketidakpastian sehingga semakin besar risiko maturitas. Risiko maturitas dari obligasi (pemerintah dan korporasi). Negara berkembang seperti
Karena itu, investor yang rasional akan meminta premium maturitas untuk obligasi yang sama karekteristiknya tetapi jatuh temponya lebih lama, katakan yang 10 tahun lagi berbanding yang 3 tahun lagi. Siapa yang bisa memastikan korporasi yang ratingnya BBB masih tetap berdiri 10 tahun lagi? Negara saja bisa cerai berai seperti kasus
Risiko default hanya ada pada obligasi korporasi. Berbeda dengan ORI dan SUN yang dijamin pemerintah sebagai pengutang, obligasi korporasi tidak dijamin pemerintah. Investor yang membeli obligasi korporasi harus menyadari bahwa investasinya bisa tidak kembali jika sebelum obligasi jatuh tempo, korporasi itu bangkrut. Risiko korporasi bangkrut sehingga obligasi dan bunganya menjadi gagal dibayar inilah yang dimaksud dengan risiko default.
Jenis-jenis Obligasi
Secara umum jenis obligasi dapat dilihat dari penerbitnya, yaitu, Obligasi perusahaan dan Obligasi pemerintah. Obligasi pemerintah sendiri terdiri dalam beberapa jenis, yaitu:
1. Obligasi Rekap, diterbitkan guna suatu tujuan khusus yaitu dalam rangka Program Rekapitalisasi Perbankan;
2. Surat Utang Negara (SUN), diterbitkan untuk membiayai defisit APBN;
3. Obligasi Ritel Indonesia (ORI), sama dengan SUN, diterbitkan untuk membiayai defisit APBN namun dengan nilai nominal yang kecil agar dapat dibeli secara ritel;
4. Surat Berharga Syariah Negara atau dapat juga disebut "obligasi syariah" atau "obligasi sukuk", sama dengan SUN, diterbitkan untuk membiayai defisit APBN namun berdasarkan prinsip syariah.
Dari aspek perpajakan obligasi dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
Metode Penilaian Obligasi
Penerbitan Obligasi
Penerbit obligasi sangat luas sekali, hampir setiap badan hukum dapat menerbitkan obligasi, namun peraturan yang mengatur mengenai tata cara penerbitan obligasi ini sangat ketat sekali. Penggolongan penerbit obligasi biasanya terdiri atas :
TAHAP MEMBELI OBLIGASI
Untuk melakukan investasi obligasi terdapat beberapa tahap yang perlu dilalui supaya tujuan investasi dalam obligasi memberikan hasil yang maksimal dan sesuai dengan rencana. Tahap tersebut dapat dilihat dalam diagram dalam tulisan ini.
Membuka Rekening
Tahap awal yang harus dilakukan dalam proses transaksi obligasi adalah memilih perusahaan sekuriats yang memiliki divisi fixed income yang menangani pembelian dan penjualan obligasi. Pilih perusahaan dengan pengalaman, tim yang solid baik trader/ dealer ataupun riset serta fee yang kompetitif.
Dengan membuka rekening, Anda bisa mendapatkan informasi perkembangan dan perdagangan obligasi setiap saat, sehingga Anda mendapatkan pengetahuan pergerakan pasar obligasi secara akurat dan up to date.
Pahami Produk Obligasi
Pada tahap ini, investor dianjurkan untuk mempelajari seluk beluk informasi yang dibutuhkan mengenai obligasi, baik mengenai investasinya sendiri, potensi risiko yang terkandung maupun potensi keuntungannya. Hal ini dapat diperoleh dengan mempelajarinya secara mandiri, bertanya kepada bagian riset perusahaan sekuritas, di mana Anda membuka rekening atau melalui internet.
Dengan mempelajari instrumen obligasi secra lengkap, diharapkan investor mengenal investasi tersebut dengan baik, sehingga mempermudah pengambilan keputusan investasi. Mempelajari instrumen, di mana Anda ingin menempatkan investasi, akan memberikan manfaat maksimal dalam mencapai rencana yang diinginkan.
Lakukan Analisis
Analisis dilakukan, agar keputusan yang diambil sesuai dengan apa yang diinginkan, yaitu kestabilan pendapatan. Aspek-aspek yang dibutuhkan seperti kupon, jangka waktu, nilai penerbitan dan peringkat. Latar belankang serta profil penerbit juga menjadi pertimbangan sendiri. Dengan informasi yang lengkap, diharapkan keputusan yang diambil tidak menimbulkan kerugian yang cukup besar. Dianjurkan untuk membanding antara obligasi sejenis.
Memberikan Amanat Beli
Setelah melalui analisis, Anda memperoleh jenis obligasi yang ingin dibeli. Tahap selanjutnya adalah memberikan amanat pembelian kepada trader atau broker obligasi yang telah kita pilih. Pihak trader akan melakukan pembelian obligasi sesuai dengan jenis serta harga yang diinginkan. Misalkan, pembeli akan melakukan pembelian obligasi ASII (Astra International) tahun 2002 dengan harga 105 atau harga premium. Biasanya nilai pari atau nominal adalah sebesar Rp 100.
Siapkan Dana
Membeli obligasai membutuhkan dana yang tidak sedikit. Satuan pembelian obligasi biasanya bernilai Rp 1 miliar, sehingga sulit bagi investor individu untuk dapat ikut berinvestasi dalam obligasi. Namum, ada juga yang menawarkan satuan bernilai Rp 50 juta atau Rp 100 juta.
Setelah amanat pembelian di ajukan, sebaiknya dana tersebut sudah dialokasikan. Jangan sampai Anda dikenakan penalty, karena keterlambatan dalam pembayaran. Selain itu, penempatan dana tunai yang serba mendadak mungkin bisa mengganggu kelancaran aliran arus kas keuangan Anda dan keluarga.
Penyelesaian Pembayaran Obligasi
Pembayaran dana pembelian obligasi dilakukan melalui transfer ke rekening perusahaan sekuritas tersebut. Setelah pembayaran selesai, maka Anda sebagai pembeli tinggal menunggu proses settlement atas transaksi tersebut. Obligasi yang telah Anda beli akan tercantum di dalam rekening perusahaan sekuritas yang tercatat di KSEI (Kustodian Sentral Efek
Pemindahtanganan hak atas obliasi akan sangat mudah dilakukan secara elektronik, karena saat ini fisik obligasi tidak lagi berupa sertifikat, namun sudah scriptless (tahap warkat).
Administrasi pembukuan akan dilakukan oleh bank custodian perusahaan sekuritas. Untuk hal ini, tentunya bank bersangkutan akan memungut biaya tertentu.